Metformin





Metformin merupakan obat antidiabetik oral yang berbeda dari golongan sulfonilurea baik secara kimiawi maupun dalam cara bekerjanya. Obat ini merupakan suatu biguanida yang tersubsitusi rangkap yaitu Metformin (dimethylbiguanide) Hydrochloride. Mekanisme kerja Metformin antara lain :
  • Metformin merupakan zat antihiperglikemik oral golongan biguanid. Mekanisme kerja Metformin menurunkan kadar gula darah dan tidak meningkatkan sekresi insulin.
  • Metformin tidak mengalami metabolisme di hati, diekskresikan dalam bentuk yang tidak berubah terutama dalam air kemih dan sejumlah kecil dalam tinja.
  .: Indikasi :.
  • Untuk terapi pada pasien diabetes yang tidak tergantung insulin dan kelebihan berat badan dimana kadar gula tidak bisa dikontrol dengan diet saja.
  • Dapat dipakai sebagai obat tunggal atau dapat diberikan sebagai obat kombinasi dengan Sulfonilurea.
  • Untuk terapi tambahan pada penderita diabetes dengan ketergantungan terhadap insulin yang simptomnya sulit dikontrol.
  .: Kontra Indikasi :.
  • Koma diabetik dan ketoasidosis.
  • Gangguan fungsi ginjal yang serius, karena semua obat-obatan terutama dieksresi melalui ginjal.
  • Penyakit hati kronis, kegagalan jantung, miokardial infark, alkoholisme, keadaan penyakit kronik atau akut yang berkaitan dengan hipoksia jaringan. Keadaan yang berhubungan dengan laktat asidosis seperti syok, insufisiensi pulmonal, riwayat laktat asidosis, dan keadaan yang ditandai dengan hipoksemia.
  • Hipersensitif tehadap obat ini.
  • Kehamilan dan menyusui.
  .: Dosis :.
Dosis awal 500 mg : 1 tablet 3 kali sehari.
  • Pemberian Metformin 500 mg dalam beberapa hari biasanya cukup dapat mengendalikan penyakit diabetes, tetapi tidak jarang efek terlambat dicapai sampai dua minggu. Apabila dosis yang diinginkan tidak tercapai, dosis dapat dinaikkan secara berhati-hati (maksimum 3 gram sehari). Bila gejala diabetes telah dapat dikontrol, dosis dapat diturunkan.
  • Pada pengobatan kombinasi dengan sulfonilurea, mula-mula diberikan 1 tablet Metformin 500 mg, dosis dinaikkan perlahan-lahan sampai diperoleh kontrol optimal. Dosis sulfonilurea dapat dikurangi, pada beberapa pasien bahkan tidak perlu diberikan lagi. Pengobatan dapat dilanjutkan dengan metformin sebagai obat tunggal.
  • Apabila diberikan bersama insulin, dapat mengikuti petunjuk ini :
1.      Bila dosis insulin kurang dari 60 unit sehari, permulaan diberikan satu tablet metformin 500 mg, kemudian dosis insulin dikurangi secara berangsur-angsur (4 unit setiap 2–4 hari). Dosis Metformin dapat ditambah setiap interval mingguan.
2.      Bila dosis insulin lebih dari 60 unit sehari, pemberian Metformin adakalanya menyebabkan penurunan kadar gula darah dengan cepat. Pasien yang demikian harus diobservasi dengan hati-hati selama 24 jam pertama setelah pemberian Metformin. Setelah itu dapat diikuti petunjuk (1).
  • Tablet diberikan bersama makanan atau setelah makan. Dosis percobaan tunggal. Penentuan kadar gula darah setelah pemberian suatu dosis percobaan tunggal tidak memberikan petunjuk apakah seorang penderita diabetes akan memberikan respon terhadap Metformin berminggu-minggu. Oleh karena itu dosis percobaan tunggal tidak digunakan sebagai penilaian.
  .: Efek Samping :.
  • Metformin dapat diterima baik oleh pasien dengan hanya sedikit gangguan gastrointestinal yang biasanya bersifat sementara. Hal ini umumnya dapat dihindari apabila metformin diberikan bersama makanan atau dengan mengurangi dosis secara temporer. Biasanya efek samping telah lenyap pada saat diabetes dapat dikontrol.
  • Bila tampak gejala-gejala intoleransi, penggunaan Metformin tidak perlu langsung dihentikan, biasanya efek samping demikian tersebut akan hilang pada penggunaan selanjutnya.
  • Anoreksia, mual, muntah, diare.
  • Berkurangnya absorbsi vitamin B12.
  .: Over Dosis :.
  • Gejala-gejala : hipoglikemia dapat terjadi bila diberikan bersama Sulfonilurea, Insulin atau alkohol. Pada dosis berlebih dapat terjadi asidosis.
  • Cara penanggulangan : Terapi penunjang dapat diberikan secara intensif terutama memperbaiki hilangnya cairan dan gangguan metabolik.
  .: Peringatan dan Perhatian :.
  • Hati-hati penggunaan pada penderita dengan gangguan fungsi ginjal.
  • Tidak dianjurkan penggunaan pada kondisi dimana menyebabkan dehidrasi atau pada penderita yang baru sembuh dari infeksi serius atau taruma.
  • Dianjurkan pemeriksaan berkala kadar B12 pada penggunaan jangka panjang.
  • Oleh karena adanya kemungkinan terjadinya hipoglikemia pada penggunaan kombinasi dengan Sulfonilurea, kadar gula dalam darah harus dimonitor.
  • Pada pengobatan kombinasi Metformin dan insulin, sebaiknya dilakukan di rumah sakit agar tercapai rasio kombinasi pada kedua obat dengan mantap.
  • Hati-hati pemberian pada pasien usia lanjut yang mempunyai gangguan fungsi ginjal.
  • Tidak direkomendasikan penggunaan pada anak-anak.
  .: Interaksi Obat :.
  • Kemungkinan terjadi interaksi antara Metformin dan antikoagulan tertentu. Dalam hal ini mungkin diperlukan penyesuaian dosisi antikoagulan.
  • Terjadi penurunan kliren ginjal Metformin pada penggunaan bersama dengan simetidin, maka dosis harus dikurangi.

Glibenklamid



Farmakodinamik :
Memiliki efek hipoglikemik yang poten (200 kali lebih kuat daripada Tolbutamida) sehingga pasien perlu diingatkan untuk melakukan jadwal makan yang ketat. Glibenklamid efektif dengan pemberian dosis tunggal.

Farmakokinetik :
Absorpsi OHO sulfonilurea melalui usus baik sehingga dapat diberikan per oral.
Setelah diabsorbsi, obat ini tersebar ke seluruh cairan ekstra sel. Dalam plasma sebagian besar pada protein plasma terutama albumin (70-99%).pada protein plasma terutama albumin (70-99%).
Studi menggunakan glibenklamid yang dilabel radioaktif menunjukkan bahwa, glibenklamid diserap sangat baik (84 ± 9%).libenklamid diserap sangat baik (84 ± 9%).
Mula kerja (onset) glibenklamid: kadar insulin serum mulai meningkat 15-60 menit setelah pemberian dosis tunggal. Kadar puncak dalam darah tercapai setelah 2-4 jam. Setelah itu kadar mulai menurun, 24 jam setelah pemberian kadardalam plasma hanya tinggal sekitar 5%.
Masa kerja sekitar 15 = 24 jam
Metabolisme glibenklamid sebagian besar berlangsung dengan jalan hidroksilasi gugus sikloheksil pada glibenklamid, menghasilkan satu metabolit dengan aktivitas sedang dan beberapa metabolit inaktif.
Metabolit utama (M1) merupakan hasil hidroksilasi pada posisi 4-trans, metabolit kedua (M2) merupakan hasil hidroksilasi 3-cis, sedangkan metabolit lainnya belum teridentifikasi. Semua metabolit tidak ada yang diakumulasi.
Hanya 25-50 % metabolit diekskresi melalui ginjal, sebagian besar diekskresi melalui empedu dan dikeluarkan bersama tinja.
Waktu paruh eliminasi sekitar 15-16 jam, dapat bertambah panjang apabila terdapat kerusakan hati atau ginjal.
Bila pemberian dihentikan, obat akan bersih keluar dari serum setelah 36 jam.
Glibenklamid tidak diakumulasi di dalam tubuh, walaupun dalam pemberian berulang.

CARA PAKAI OBAT YANG BENAR



Untuk penggunaan obat atau drug yang baik dan benar, gunakan obat hanya seperti petunjuk cara pakai, pada waktu yang tepat dan penuh selama waktu pengobatan. Jika anda menggunakan obat yang dijual bebas atau no prescription drug, ikutilah cara pakainya seperti petunjuk pada label kecuali ada petunjuk lain dari dokter anda.

Obat yang anda beli di apotek atau di drug store (toko obat)yang diserahkan oleh apoteker biasanya akan diberikan dalam kantong atau bungkus sendiri-sendiri. Untuk itu sebaiknya anda selalu menjaga agar obat dalam keadaan tertutup rapat dalam wadah aslinya jika tidak sedang digunakan.

Jangan pisahkan label obat dari obat,karena informasi mengenai cara pakai dan informasi penting lainnya terdapat pada label tersebut. Untuk mencegah kesalahan,jangan minum obat ditempat yang gelap. Selalu membaca label sebelum minum obat,terutama tanggal kadaluarsa dan petunjuk pakai obat

Cara pakai obat oral - buccal drugObat oral/buccal drug (obat yang diminum melalui mulut)
paling baik digunakan bila meminum obat dengan satu gelas air penuh. Ikutilah petunjuk dokter atau apoteker. Ada beberapa obat yang diminum bersama makanan atau sesudah makan, ada juga yang diminum pada saat lambung kosong. Jika anda harus meminum obat dalam jangka lama, minumlah semua obat sesuai dosisnya. Jangan digerus atau dihisap jika tidak diberi petunjuk seperti itu. Jika meminum obat cairan, harus diperhatikan penggunaan sendok yang disebutkan pada obat dengan sendok yang umumnya terdapat dirumah anda.Sendok makan pada obat perhitungannya 15 ml, sedang sendok makan yang umum pada rumah tangga sekarang biasanya isinya 8 ml. Sendok teh pada takaran obat adalah 5 ml tapi sendok teh dirumah biasanya sekitar 3 ml. Sebaiknya kalau sendok teh pada obat gunakanlah sendok takar obat yang biasanya disertakan bersama obat cair.Jika anda merasa kesulitan meminum obat dalam bentuk tablet, kapsul atau cairan seperti pada resepnya, konsultasikan dengan dokter atau apoteker.


Obat kulit - skin drug (salep)
Untuk penggunaan obat kulit / buccal drug yang berbentuk sediaan salep, oleskan salep pada daerah kulit yang bersih, kering dan sedikit. Usahakan kulit bebas dari bulu, luka terbuka dan iritasi. Gunakan bagian salep baru untuk setiap tempat yang berbeda


Inhaler (obat yang dihirup)
Obat-obat inhaler biasanya mempunyai petunjuk sendiri untuk pasien. Bacalah petunjuknya dengan teliti sebelum menggunakan obat. Jika anda tidak mengerti cara penggunaannya, konsultasikan kepada dokter yang meresepkan atau konsultasikan dengan apoteker. Ada beberapa tipe inhaler yang digunakan dengan cara yang berbeda, sehingga adalah penting untuk mengikuti cara pakai yang diberikan.


Obat tetes mata (OTM) - Eyedrop drug
Dalam penggunaan obat tetes mata atau Eyedrop drug, untuk mencegah kontiminasi, jangan dibiarkan ujung wadah tetes mata bersinggungan dengan permukaan/bagian mata dan selalu dijaga tutup tetes mata selalu rapat. Cara penggunaan : terlebih dahulu cuci tangan anda dengan sabun. Mirinkan kepala kebelakang dan jari telunjuk tarik kelopak mata bawah dari mata hingga membentuk lekukan. Teteskan obat mata ke dalam lekukan mata dan pelan-pelan tutup. Jangan kedip-kedipkan mata dan biarkan tertutup selama 1-2 menit.


Salep mata - Eye balm Drug
Dalam penggunaan obat salep mata atau Eye balm Drug, untuk mencegah kontiminasi dari salep mata diusahakan jangan sampai unujg "tube" menyentuh mata. Setelah penggunaan, lap ujung tube dengan tisu yang bersih dan tutup rapat. Cara pakai : Cuci tangan dengan bersih. Tarik kelopak mata bawah sehingga terbentuk lekukan. Oleskan lapisan tipis salep mata pada lekukan kurang lebih 1 cm panjangnya. Pelan-pelan tutup mata dan diamkan 1-2 menit. Kemudian cuci kembali tangan anda.


Obat tetes hidung - Nosedrops
Untuk penggunaan obat tetes hidung atau Nosedrops,tengadahkan kepala atau letakan kepala pada bantal miring. Teteskan pada masing-masing lobang hidung dan diamkan bebrapa menit. Siram bitil dengan air panas dan keringkan dengan tisu bersih. Tuutp kembali obat. Untuk mencegah penularan infeksi, jangan gunakan obat tetes mata dan hidung untuk orang lain selain anda.


Obat tetes telinga - Eardrops
Dalam penggunaan obat tetes telinga atau Eardrops, untuk mencegah kontiminasi jangan sampai ujung obat tetes telinga menyentuh telinga. Botol tidak boleh penuh untuk mencegah tetesan. Cara pakai : Tidur dan miringkan kepala sehingga telinga yang diobati menghadap ke atas. Teteskan obat tetes telinga pada saluran telinga. Jaga selama 5 menit sehingga obat mengalir.Untuk anak-anak yang susah diam, diamkan paling tidak 1-2 menit. Jangan goyang-goyang penetes telinga sesudah dipakai. Lap ujung penetes dengan tisu yang bersih dan tutup wadah dengan kencang (rapat).


Suppositoria
Untuk penggunaan suppositoria, cuci tangan sampai bersih. Pisahkan pembungkus suppositoria dari badan supp dengan air bersih. Tidurlah dengan posisi miring dan dorong Suppositoria ke dalam dubur (rectal) dengan jari kanan. Jika Suppositoria terlalu lunak untuk dimasukan, simpan 30 menit di dalam lemari es atau siram dengan air es sebelum dilepaskan dari pembungkusnya. Cucilah tangan anda setelah selesai penggunaan dengan sabun.


Salep/krim untuk dubur (rektal)
Untuk penggunaan obat ini, bersihkan dan keringkan daerah sekitar dubur. Gosoklah dengan sedikit salep/krim tadi. Masukan aplikator pada rektum (dubur) dan hati-hati pencet tube hingga salep/krim masuk ke dalam rektum. Pisahkan ujung aplikator dari tube dan cuci dengan air panas, bersihkan dengan sabun/deterjen. Lepaskan tube setelah dipakai. Kemudian cuci tangan sampai bersih.


Obat yang melalui vagina
Untuk penggunaan obat yang melalui vagina, cuci tangan anda hingga bersih. Gunakan aplikator, masukan obat ke dalam vagina sejauh mungkin secara pelan-pelan dan tak menimbulkan rasa sakit. Bebaskan obat dengan mendorong plunger. Tunggu beberapa menit sebelum bangun, cuci aplikator dan tangan anda dengan sabun dan air panas.

Hipokalemia





IYAN DARMAWAN
Medical Department PT Otsuka Indonesia

Pendahuluan
Hipokalemia (K+ serum < 3,5 mEq/L) merupakan salah satu kelainan elektrolit yang ditemukan pada pasien rawat inap. Di Amerika, 20% dari pasien rawat-inap didapati mengalami hipokalemia1, namun hipokalemia yang bermakna klinik hanya terjadi pada 4—5% dari para pasien ini. Kekerapan pada pasien rawat-jalan yang mendapat diuretik sebesar 40%2. Walaupun kadar kalium dalam serum hanya sebesar 2% dari kalium total tubuh dan pada banyak kasus tidak mencerminkan status kalium tubuh; hipokalemia perlu dipahami karena semua intervensi medis untuk mengatasi hipokalemia berpatokan pada kadar kalium serum.

Patofisiologi
Perpindahan Trans-selular
Hipokalemia bisa terjadi tanpa perubahan cadangan kalium sel. Ini disebabkan faktor-faktor yang merangsang berpindahnya kalium dari intravaskular ke intraseluler, antara lain beban glukosa, insulin, obat adrenergik, bikarbonat, dsb. Insulin dan obat katekolamin simpatomimetik diketahui merangsang influks kalium ke dalam sel otot. Sedangkan aldosteron merangsang pompa Na+/K+ ATP ase yang berfungsi sebagai antiport di tubulus ginjal. Efek perangsangan ini adalah retensi natrium dan sekresi kalium 1.
Pasien asma yang dinebulisasi dengan albuterol akan mengalami penurunan kadar K serum sebesar 0,2—0,4 mmol/L2,3, sedangkan dosis kedua yang diberikan dalam waktu satu jam akan mengurangi sampai 1 mmol/L3. Ritodrin dan terbutalin, yakni obat penghambat kontraksi uterus bisa menurunkan kalium serum sampai serendah 2,5 mmol per liter setelah pemberian intravena selama 6 jam.
Teofilin dan kafein bukan merupakan obat simpatomimetik, tetapi bisa merangsang pelepasan amina simpatomimetik serta meningkatkan aktivitas Na+/K+ ATP ase. Hipokalemia berat hampir selalu merupakan gambaran khas dari keracunan akut teofilin. Kafein dalam beberapa cangkir kopi bisa menurunkan kalium serum sebesar 0,4 mmol/L. Karena insulin mendorong kalium ke dalam sel, pemberian hormon ini selalu menyebabkan penurunan sementara dari kalium serum. Namun, ini jarang merupakan masalah klinik, kecuali pada kasus overdosis insulin atau selama penatalaksanaan ketoasidosis diabetes.

Deplesi Kalium
Hipokalemia juga bisa merupakan manifestasi dari deplesi cadangan kalium tubuh. Dalam keadaan normal, kalium total tubuh diperkirakan 50 mEq/kgBB dan kalium plasma 3,5--5 mEq/L. Asupan K+ yang sangat kurang dalam diet menghasilkan deplesi cadangan kalium tubuh. Walaupun ginjal memberi tanggapan yang sesuai dengan mengurangi ekskresi K+, melalui mekanisme regulasi ini hanya cukup untuk mencegah terjadinya deplesi kalium berat. Pada umumnya, jika asupan kalium yang berkurang, derajat deplesi kalium bersifat moderat. Berkurangnya asupan sampai <10 mEq/hari menghasilkan defisit kumulatif sebesar 250 s.d. 300 mEq (kira-kira 7-8% kalium total tubuh) dalam 7—10 hari4. Setelah periode tersebut, kehilangan lebih lanjut dari ginjal minimal. Orang dewasa muda bisa mengkonsumsi sampai 85 mmol kalium per hari, sedangkan lansia yang tinggal sendirian atau lemah mungkin tidak mendapat cukup kalium dalam diet mereka2.

Kehilangan K+ Melalui Jalur Ekstra-renal
Kehilangan melalui feses (diare) dan keringat bisa terjadi bermakna. Pencahar dapat menyebabkan kehilangan kalium berlebihan dari tinja. Ini perlu dicurigai pada pasien-pasien yang ingin menurunkan berat badan. Beberapa keadaan lain yang bisa mengakibatkan deplesi kalium adalah drainase lambung (suction), muntah-muntah, fistula, dan transfusi eritrosit.

Kehilangan K+ Melalui Ginjal
Diuretik boros kalium dan aldosteron merupakan dua faktor yang bisa menguras cadangan kalium tubuh. Tiazid dan furosemid adalah dua diuretik yang terbanyak dilaporkan menyebabkan hipokalemia

Implikasi Klinik pada Pasien Penyakit Jantung 2
Tidak mengherankan bahwa deplesi kalium sering terlihat pada pasien dengan CHF. Ini membuat semakin bertambah bukti yang memberi kesan bahwa peningkatan asupan kalium bisa menurunkan tekanan darah dan mengurangi risiko stroke. Hipokalemia terjadi pada pasien hipertensi non-komplikasi yang diberi diuretik, namun tidak sesering pada pasien gagal jantung bendungan, sindrom nefrotik, atau sirosis hati. Efek proteksi kalium terhadap tekanan darah juga dapat mengurangi risiko stroke.
Deplesi kalium telah dikaitkan dalam patogenesis dan menetapnya hipertensi esensial. Sering terjadi salah tafsir tentang terapi ACE-inhibitor (misal Kaptopril). Karena obat ini meningkatkan retensi kalium, dokter enggan menambah kalium atau diuretik hemat kalium pada terapi ACE-inhibitor. Pada banyak kasus gagal jantung bendungan yang diterapi dengan ACE-inhibitor, dosis obat tersebut tidak cukup untuk memberi perlindungan terhadap kehilangan kalium.
Potensi digoksin untuk menyebabkan komplikasi aritmia jantung bertambah jika ada hipokalemia pada pasien gagal jantung. Pada pasien ini dianjurkan untuk mempertahankan kadar kalium dalam kisaran 4,5-5 mmol/L. Nolan dkk. mendapatkan kadar kalium serum yang rendah berkaitan dengan kematian kardiak mendadak di dalam uji klinik terhadap 433 pasien di UK.
Hipokalemia ringan bisa meningkatkan kecenderungan aritmia jantung pada pasien iskemia jantung, gagal jantung, atau hipertrofi ventrikel kanan. Implikasinya, seharusnya internist lebih "care" terhadap berbagai konsekuensi hipokalemia. Asupan kalium harus dipikirkan untuk ditambah jika kadar serum antara 3,5--4 mmol/L. Jadi, tidak menunggu sampai kadar < 3,5 mmol/L.

Derajat Hipokalemia
Hipokalemia moderat didefinisikan sebagai kadar serum antara 2,5--3 mEq/L, sedangkan hipokalemia berat didefinisikan sebagai kadar serum < 2,5 mEq/L. Hipokalemia yang < 2 mEq/L biasanya sudah disertai kelainan jantung dan mengancam jiwa.

Hipokalemia pada Anak
Hipokalemia pada anak juga merupakan gangguan elektrolit yang lazim dijumpai dan memiliki manifestasi beragam serta serius, seperti kelumpuhan otot, ileus paralitik, kelumpuhan otot pernapasan, aritmia jantung, dan bahkan henti jantung. Dari suatu kajian prospektif terhadap 1350 anak yang dirawat-inap6, diagnosis hipokalemia dipikirkan pada setiap anak dengan diare akut dan kronik dengan gambaran klinik leher terkulai, kelemahan anggota gerak, dan distensi abdomen. Sebanyak 38 anak didiagnosis sebagai hipokalemia, dengan gejala bervariasi sebagai berikut:
Sebanyak 85% dari anak yang hipokalemia tersebut mengidap malnutrisi dan 50% di antaranya dikategorikan malnutrisi berat. Berbagai etiologi hipokalemia mencakup gastroenteritis akut dan kronik, renal tubular asidosis, bronkopneumonia, serta penggunaan diuretik. Pemberian kalium oral (20 mEq/L) pada kasus ringan dan infus intravena 40 mEq/L pada kasus berat, diketahui aman dan efektif mengatasi hipokalemia.

Hipokalemia pada Pasien Bedah7
Hipokalemia lazim dijumpai pada pasien bedah. K+ < 2,5 mmol/L berbahaya dan perlu tatalaksana segera sebelum pembiusan serta pembedahan. Defisit 200—400 mmol perlu untuk menurunkan K+ dari 4 ke 3 mmol/L. Demikian juga defisit serupa menurunkan K+ dari 3 ke 2 mmol/L.
Sebab-sebab
  • Asupan berkurang: asupan K+ normal adalah 40—120 mmol/hari. Umumnya ini berkurang pada pasien bedah yang sudah anoreksia dan tidak sehat.
  • Meningkatnya influks K+ ke dalam sel: alkalosis, kelebihan insulin, B-agonis, stress, dan hipotermia. Semuanya menyebabkan pergeseran K+ ke dalam sel. Tidak akan ada deplesi K+ sejati jika ini adalah satu-satunya penyebab.
  • Kehilangan berlebihan dari saluran cerna: muntah-muntah, diare, dan drainase adalah gambaran khas seorang pasien sebelum dan setelah pembedahan abdomen. Penyalahgunaan pencahar pada usia lanjut biasa dilaporkan dan bisa menyebabkan hipokalemia pra-bedah.
  • Kehilangan berlebihan dari urin: hilangnya sekresi lambung, diuretik, asidosis metabolik, Mg++ rendah, dan kelebihan mineralokortikoid menyebabkan pemborosan K+ ke urin. Mekanisme hipokalemia pada kehilangan cairan lambung bersifat kompleks. Bila cairan lambung hilang berlebihan (muntah atau via pipa nasogastrik), NaHCO3 yang meningkat diangkut ke tubulus ginjal. Na+ ditukar dengan K+ dengan akibat peningkatan ekskresi K+. Kehilangan K+ melalui ginjal sebagai respons terhadap muntah adalah faktor utama yang menyebabkan hipokalemia. Ini disebabkan kandungan K+ dalam sekresi lambung sedikit. Asidosis metabolik menghasilkan peningkatan transpor H+ ke tubulus. H+ bersama K+ bertukar dengan Na+ , sehingga ekskresi K+ meningkat.
  • Keringat berlebihan dapat memperberat hipokalemia.
Risiko
  • Aritmia jantung, khususnya pada pasien yang mendapat digoksin.
  • Ileus paralitik berkepanjangan
  • Kelemahan otot
  • Keram
Pendekatan Diagnostik
  • Anamnesis biasanya memungkinkan identifikasi faktor penyebab.
  • pH darah dibutuhkan untuk menginterpretasikan K+ yang rendah. Alkalosis biasa menyertai hipokalemia dan menyebabkan pergeseran K+ ke dalam sel. Asidosis menyebabkan kehilangan K+ langsung dalam urin.
Hipokalemia pada Pasien Stroke8
Dalam suatu kajian observasi terhadap 421 pasien stroke, 150 pasien infark miokard, dan 161 pasien rawat-jalan dengan hipertensi, didapatkan hasil sebagai berikut:8 Hipokalemia didapatkan lebih sering pada pasien stroke dibandingkan pasien infark miokard, yakni 84 (20%) vs 15 (10%), p = .008) atau pasien hipertensi 84 (20%) vs 13 (8%), p < .001. Bahkan, ketika pasien yang diberi diurteik dikeluarkan dari analisis 56 (19%) vs 12 (9%) kelompok pasien infark, p = .014 dan 56 (19%) vs 4 (5%) kelompok hipertensi, p = .005, masing-masing. Pada analisis terhadap kelangsungan hidup, kadar kalium yang lebih rendah ketika pasien masuk berkaitan dengan meningkatnya risiko kematian.

Tatalaksana Hipokalemia
Untuk bisa memperkirakan jumlah kalium pengganti yang bisa diberikan, perlu disingkirkan dulu faktor-faktor selain deplesi kalium yang bisa menyebabkan hipokalemia, misalnya insulin dan obat-obatan. Status asam-basa mempengaruhi kadar kalium serum.

Jumlah Kalium
Walaupun perhitungan jumlah kalium yang dibutuhkan untuk mengganti kehilangan tidak rumit, tidak ada rumus baku untuk menghitung jumlah kalium yang dibutuhkan pasien. Namun, 40—100 mmol K+ suplemen biasa diberikan pada hipokalemia moderat dan berat.
Pada hipokalemia ringan (kalium 3—3,5 mEq/L) diberikan KCl oral 20 mmol per hari dan pasien dianjurkan banyak makan makanan yang mengandung kalium. KCL oral kurang ditoleransi pasien karena iritasi lambung. Makanan yang mengandung kalium cukup banyak dan menyediakan 60 mmol kalium 5.
Kecepatan Pemberian Kalium Intravena
Kecepatan pemberian tidak boleh dikacaukan dengan dosis. Jika kadar serum > 2 mEq/L, maka kecepatan lazim pemberian kalium adalah 10 mEq/jam dan maksimal 20 mEq/jam untuk mencegah terjadinya hiperkalemia. Pada anak, 0,5—1 mEq/kg/dosis dalam 1 jam. Dosis tidak boleh melebihi dosis maksimum dewasa.
Pada kadar < 2 mEq/L, bisa diberikan kecepatan 40 mEq/jam melalui vena sentral dan monitoring ketat di ICU. Untuk koreksi cepat ini, KCl tidak boleh dilarutkan dalam larutan dekstrosa karena justru mencetuskan hipokalemia lebih berat.

Koreksi Hipokalemia Perioperatif
  • KCL biasa digunakan untuk menggantikan defisiensi K+, karena juga biasa disertai defisiensi Cl-.
  • Jika penyebabnya diare kronik, KHCO3 atau kalium sitrat mungkin lebih sesuai.
  • Terapi oral dengan garam kalium sesuai jika ada waktu untuk koreksi dan tidak ada gejala klinik.
  • Penggantian 40—60 mmol K+ menghasilkan kenaikan 1—1,5 mmol/L dalam K+ serum, tetapi ini sifatnya sementara karena K+ akan berpindah kembali ke dalam sel. Pemantauan teratur dari K+ serum diperlukan untuk memastikan bahwa defisit terkoreksi.
Kalium iv
  • KCl sebaiknya diberikan iv jika pasien tidak bisa makan dan mengalami hipokalemia berat.
  • Secara umum, jangan tambahkan KCl ke dalam botol infus. Gunakan sediaan siap-pakai dari pabrik. Pada koreksi hipokalemia berat (< 2 mmol/L), sebaiknya gunakan NaCl, bukan dekstrosa. Pemberian dekstrosa bisa menyebabkan penurunan sementara K+ serum sebesar 0,2—1,4 mmol/L karena stimulasi pelepasan insulin oleh glukosa.
  • Infus yang mengandung KCl 0,3% dan NaCl 0,9% menyediakan 40 mmol K+ /L. Ini harus menjadi standar dalam cairan pengganti K+.
  • Volume besar dari normal saline bisa menyebabkan kelebihan beban cairan. Jika ada aritmia jantung, dibutuhkan larutan K+ yang lebih pekat diberikan melalui vena sentral dengan pemantauan EKG. Pemantauan teratur sangat penting. Pikirkan masak-masak sebelum memberikan > 20 mmol K+/jam.
  • Konsentrasi K+ > 60 mmol/L sebaiknya dihindari melalui vena perifer, karena cenderung menyebabkan nyeri dan sklerosis vena.
Kesimpulan
Hipokalemia merupakan kelainan elektrolit yang cukup sering dijumpai dalam praktik klinik, dan bisa mengenai pasien dewasa dan anak. Berbagai faktor penyebab perlu diidentifikasi sebagai awal dari manajemen. Pemberian kalium bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti oleh para klinisi, seandainya diketahui kecepatan pemberian yang aman untuk setiap derajat hipokalemia. Pemberian kalium perlu dipertimbangkan pada pasien-pasien penyakit jantung, hipertensi, stroke, atau pada keadaan-keadaan yang cenderung menyebabkan deplesi kalium.

Sumber
  1. Zwanger M. Hypokalemia. emedicine.com/emerg/topic273.html
  2. Cohn JN, Kowey PR, Whelton PK, Prisant LM. New Guidelines for potassium Replacement in Clinical Practice. Arch Intern Med 2000;160:2429-2436.
  3. Gennari F.J. Hypokalemia: Current Concept. The New England Journal of Medicine 1998 Aug 13;339(7): 451-458
  4. Tannen R.L. Potassium Disorders. In Kokko & Tannen. Fluid and ELectrolytes. WB Saunders Company 3rd ed., p.123
  5. Halperin ML, Goldstein MB. Fluid Electrolyte and Acid-Base Physiology. A problem-based approach. WB Saunders Co. 2nd ed., p 358
  6. Sunil Gomber and Viresh Mahajan. Clinico-Biochemical Spectrum of Hypokalemia. Indian Pediatrics 1999;36:1144-1146
  7. AJ Nicholls & IH Wilson. Perioperative Medicine : managing surgical patients with medical problems. OXFORD University Press; 2000.
  8. Salah E. Gariballa, Thompson G. Robinson and Martin D. Fotherby. Hypokalemia and Potassium Excretion in Stroke Patients. Journal of the American Geriatrics Society 1997;45(12)